Presiden RI Joko Widodo (tengah) didampingi sejumlah ketua umum partai politik berjalan keluar usai hadir dalam acara silaturahim ramadan di kantor DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Pejaten, Jakarta, Minggu, 2 April 2023. Foto: MI/Susanto
Jakarta: Pengajar ilmu politik dan kajian internasional dari Universitas Paramadina A Khoirul Umam mengatakan sikap cawe-cawe Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden atau Pilpres 2024 menunjukkan adanya kesulitan untuk memisahkan agenda pribadi dan negara.
Meskipun memiliki hak politik, Presiden Jokowi harus dapat menjamin tidak adanya politisasi kekuasaan negara yang dipegang. Sebab, presiden merupakan simbol kekuasaan negara yang seharusnya dapat menjaga netralitas kekuasaan negara.
"Masalahnya, sikap terbuka presiden untuk cawe-cawe itu berpeluang disalahgunakan sebagai legitimasi untuk memainkan agenda kepentingan politik pribadi, golongan, dan kelompoknya atas nama kepentingan negara," kata Umam kepada Media Indonesia, Kamis, 1 Juni 2023.
Ia berpendapat, bahwa Jokowi kesulitan untuk memisahkan antara agenda kepentingan pribadi dan kepentingan negara. Itu tercermin dari berbagai upaya orkestrasi politik yang dilakukan presiden melalui pengaruh kekuasaan yang dipegang, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Umam mewanti-wanti tidak netralnya kekuasaan dapat berimplikasi pada politisasi lembaga-lembaga negara, termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), aparatur sipil negara (ASN), dan lembaga penyelenggara pemilu.
Bahkan, ia juga menyebut lembaga penegak hukum dapat digunakan sebagai alat politik yang sangat efektif untuk mendisiplinkan koalisi politik. "Sekaligus untuk menghantam kekuatan politik lain yang tidak sesuai dengan selera kekuasaan," ucap Umam. (Tri Subarkah)